Perubahan Sosiokultural dan Efek Psikologisnya

Pendahuluan
Individu telah dikarunia oleh perangkat-perangkat yang memungkinkannya untuk senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya. Individu memiliki kemampuan khusus untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Termasuk juga kemampuan untuk memodifikasi lingkungan sekitarnya agar mampu bersesuaian dengan dirinya. Jasad manusia diibaratkan sebagai perangkat keras (hardware), sedangkan perangkat lunaknya (software) diinstal sendiri melalui proses-proses interaksi dengan lingkungan. Perangkat lunak tersebut seperti budaya, yang dienkulturasi oleh indvidu sejak masa kanak-kanak.
Enkulturasi merupakan proses yang bersifat lintas generasi dan memungkinkan manusia untuk menyampaikan dan belajar tentang kebudayaannya (Kottak dalam Meinarno dkk; Grusec & Hastings dalam Sarwono, 2014). Sejak masa kanak-kanak, individu telah disosialisasikan mengenai kebudayaan dan lingkungan sosialnya dalam proses enkulturasi tersebut. Proses internalisasi nilai-nilai budaya juga dapat terjadi selama proses tersebut. Enkulturasi menitikberatkan pada pembelajaran melalui pengalaman yang biasanya selalu didahului atau berbarengan dengan sosialisasi, yang dalam hal ini merupakan proses penyampaian pengetahuan umum saja (Sarwono, 2014).
Proses enkulturasi dapat dilihat saat orang tua mengajak anaknya saat bekerja atau pergi ke tempat ibadah. Dalam kegiatan tersebut terdapat budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Juga ketika orang tua melarang anaknya melakukan sesuatu karena tidak sesuai dengan nilai budaya dan pandangan sosial di daerahnya. Termasuk juga ketika orang tua menyampaikan pandangan-pandangan terkait agama kepada anaknya. Melibatkan anak-anak dalam kegiatan sosial juga menjadi bentuk penanaman nilai kepada anak.
Sebagai individu, anak akan belajar mengenai kebudayaan dan lingkungan sosialnya. Anak tidak hanya belajar ketika dia terlibat dalam suatu kegiatan atau pengalaman. Teori belajar sosial kognitif dari Bandura menekankan bahwa anak juga belajar dengan mengamati. Anak-anak bisa belajar hanya dengan melihat tingkah laku orang-orang di sekitarnya, terutama orang tuanya, tanpa terlibat langsung dalam perilaku tersebut sebagai pelaku. Melalui belajar mengamati (juga disebut “modelling”), kita secara kognitif menampilkan perilaku orang lain dan kemudian barangkali mengadopsi perilaku ini dalam diri kita sendiri (Santrock, 2002).
Agen-agen sosialisasi dan enkulturasi berupa orang-orang atau institusi yang mengajarkan dan mengukuhkan budaya individu (Sarwono, 2014). Agen-agen tersebut seperti orang tua, keluarga, teman sebaya, pendidikan sekolah, tetangga dan media massa. Agen-agen tersebut termasuk dalam sistem yang memengaruhi perkembangan individu. Bronfenbrenner (Santrok, 2002) mengajukan suatu pandangan yang dikenal sebagai teori ekologi. Pandangan ini merupakan pandangan sosiokultural tentang perkembangan manusia yang terdiri dari lima sistem lingkungan, mulai dari masukan interaksi langsung dengan agen-agen sosialisasi tersebut yang berkembang baik hingga masukan kebudayaan yang berbasis luas. Bronfenbrenner (Sarwono, 2014) percaya bahwa perkembangan manusia bersifat dinamis dan di dalamnya terdapat proses interaktif antara individu dan sistem lingkungannya.
Penjelasan di atas berupaya menyampaikan dua hal kepada pembaca. Pertama adalah lingkungan sebagai sistem memengaruhi perkembangan inidvidu yang bersifat dinamis. Lingkungan yang dimaksud termasuk lingkungan sosiokultural. Lingkungan sosokultural berkontribusi terhadap enkulturasi yang terjadi pada individu. Kedua adalah individu merupakan pembelajar aktif, yang belajar tidak hanya melalui keterlibatan langsung, tetapi juga melalui pengamatan (modelling). Melalui proses belajar itulah individu dapat menginternalisasi nilai-nilai dari lingkungan sosiokulturalnya dan kemudian menentukan tingkah lakunya.
Lingkungan sosiokultural berisifat dinamis. Lingkungan senantiasa mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Saat ini memasuki era digital yang mana akses informasi begitu cepat dan semakin luas. Batas-batas geografis dan sosial budaya senantiasa mengabur karena semakin banyaknya pihak yang mampu mendobrak batasan itu. Perubahan-perubahan itu tentunya dapat memengaruhi individu, seperti memegaruhi kebutuhannya, motivasi bahkan nilai-nilai yang dianut. Perubahan-perubahan lingkungan sosiokultural dapat memengaruhi perkembangan individu dari berbagai aspek, termasuk perkembangan kognitif dan moralnya.
Sebagai pembelajar aktif, inividu senantiasa mencari informasi baru dari lingkungan-lingkungan yang baru. Pencarian individu terhadap lingkungan dapat didasari oleh berbagai hal, di antaranya barangkali lingkungan sebelumnya telah mengalami perubahan-perubahan. Ketika individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan tidak mampu lagi memodifikasi lingkungan untuk bersesuaian dengan dirinya maka individu akan memilih untuk meninggalkan lingkungan tersebut. Hal ini berkaitan dengan kemampuan ego manusia yang adaptif dan otonomi.
Perubahan-perubahan sosiokultural dalam sistem lingkungan individu memiliki efek-efek psikologis pada individu yang merupakan pembelajar aktif. Dengan demikian, diperlukan suatu upaya dari individu untuk tetap berada dalam kondisi lingkungan sosiokultural yang senantiasa berubah. Bagaimana efek psikologis dari adanya perubahan sosikultural tersebut? Bagaimana pula upaya yang dapat ditempuh inidvidu untuk bisa berada dalam lingkungan sosiokultural yang dinamis? Tulisan ini bertujuan untuk menelaah lebih lanjut efek-efek psikologis yang dapat ditimbulkan oleh adanya perubahan sosiokultural tersebut. Untuk mengantar pembaca pada pembahasan tersebut, dipaparkan terlebih dahulu mengenai perubahan sosikultural itu sendiri dan kemudian diakhiri dengan upaya yang diperlukan untuk menyikapi lingkungan sosikultural yang dinamis.

Perubahan Sosiokultural
Perubahan sosial dan perubahan budaya (kultural) seringkali digabung dalam suatu pembahasan dalam sosiologi. Keduanya sering dipertukarkan. Keduanya memang tidak dapat dipisahkan secara serta-merta. Penggabungan keduanya dengan istilah perubahan sosiokultural atau perubahan sosial-budaya bukanlah tanpa alasan yang kuat.
Perubahan sosial budaya dapat diartikan sebagai perbedaan keadaan yang berarti dalam unsur masyarakat dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Perubahan sosial dan budaya adalah proses perkembangan unsur sosial dan budaya dari waktu ke waktu yang mengakibatkan perbedaan yang berarti dalam suatu individu dalam masyarakat. Sebagai gambaran, jenis-jenis permainan anak-anak pada zaman dahulu berbeda dengan anak-anak zaman sekarang. Pada zaman dahulu, kita masih mudah menemukan permainan perang-perangan dengan bambu, permainan petak umpet, permainan dengan menggunakan batu dan sebagainya. Pada zaman sekarang ini, kita menemukan bahwa anak-anak bermain perang-perangan dengan pistol air mainan. Lebih canggih lagi, permainan anak-anak telah dikemas dalam teknologi gadget. Ada bermacam-macam jenis permainan yang dapat diinstal pada gadget.
Perubahan sosial merujuk pada berbagai perubahan yang signifikan sepanjang waktu dalam pola tingkah laku serta nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan. Ahli sosiologi mengartikan perubahan signifikan sebagai perubahan yang menghasilkan konsekuensi sosial yang dalam (profound). Perubahan sosial merujuk pada suatu perubahan dalam struktur dan tatanan sosial suatu masyarakat, yang dapat ditandai dengan perubahan dalam simbol-simbol kebudayaan, aturan-aturan bertingkah laku, organisasi sosial ataupun sistem nilai.. Perubahan sosial mungkin berakar dari kebudayaan, agama, ekonomi, dan tekanan-tekanan ilmu pengetahuan ataupun teknologi. Secara lebih umum, perubahan sosial meliputi perubahan dalam lingkungan dasar (alamiah), institusi sosial, tingkah laku sosial ataupun hubungan sosial (Zuhaib, 2011).
William F. Ogburn mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Secara umum ada tiga bentuk perubahan, yaitu perubahan yang terjadi dengan lambat dan cepat; perubahan yang memiliki pengaruh yang kecil dan pengaruh yang besar; serta perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan. Perubahan sosial yang terjadi tentunya dapat memengaruhi nilai-nilai, sikap-sikap, pola-pola perilaku antara kelompok-kelompok yang terdapat dalam masyarakat.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa perubahan kebudayaan termasuk dalam perubahan sosial. Dengan perkataan lain, perubahan sosial yang terjadi dapat meliputi perubahan kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksud dalam hal ini adalah bagian dari lingkungan yang dibuat atau diciptakan oleh manusia yang terdiri dari dua hal, yaitu elemen objektif (seperti peralatan, jalanan, dan rumah) dan elemen subjektif, atau karakteristik cara suatu kelompok dalam mempersepsikan lingkungan sosialnya. Pandangan subjektif meliputi kesatuan multidimensional dari kepercayaan bersama, norma dan nilai-nlai dari kelompok tertentu yang terlihat dalam praktik dan isntitusi sosial sehari-hari dan secara historikal dipelihara, diwariskan dan dipertimbangkan fungsinya sepanjang waktu. Dengan demikian, kebudayaan dilihat dari produk-produk tingkah laku masa lalu dan sebagai pembentuk tingkah laku pada masa yang akan datang dan pada waktu yang sama, manusia dilihat sebagai penghasil kebudayaan dan dipengaruhi oleh kebudayaan itu (Spering, 2001).

Kebudayaan tentunya dapat berubah. Hal ini dikarenakan kebudayaan diajarkan dari satu individu atau generasi ke individu atau generasi lainnya, meskipun kebudayaan itu terbatas. Kebudayaan dapat cenderung untuk berubah dan resisten terhadap perubahan. Resistensi dapat berasal dari kebiasaan, agama dan integrasi serta interdependensi dari trait kebudayaan. Perubahan kebudayaan dapat memiliki berbagai penyebab, meliputi ligkungan, penemuan, dan kontak dengan kebudayaan lain. Beberapa pemahaman mengenai bagaimana kebudayaan berubah berasal dari antropologi. Misalnya dalam teori difusi, bentuk dari sesuatu bergerak dari suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lainnya, tetapi tidak maknanya. Kontak antar kebudayaan juga dapat menghasilkan akulturasi. Akulturasi memiliki makna yang berbeda, namun dalam konteks ini merujuk pada penggantian trait dari suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya itu (Zuhaib, 2011).
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan. Faktor-faktor tersebut antara lain lingkungan fisik dan geografis, perubahan populasi, isolasi dan kontak, struktur sosial, sikap dan nilai, kebutuhan dan dasar kebudayaan. Zuhaib (2011) menyebutkan beberapa penyebab dari perubahan sosial, yaitu sebagai berikut: perubahan teknologi dan ekonomi (seperti agrikultur, kemajuan, dan industrialisasi), modernisasi, urbanisasi, bureaucratization (penekanan yang ekstrim pada aturan, impersonal), konflik dan kompetisi (seperti perang karena agama, tekanan etnik dan kompetisi mendapatkan sumber daya, pergerakan gender dan wanita, segregasi, dan sebagainya), kekuatan politik legal, ideologi, difusi kebudayaan (penyebaran suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain), serta akulturasi.

Dampak Perubahan Sosikultural terhadap Aspek Psikologis Individu
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa perubahan sosial dan budaya sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap inidvidu. Nilai-nilai sosial dan budaya yeng telah diinternalisasi oleh individu diperhadapkan pada perubahan-perubahan sehingga sebagian nilai-nilai tersebut bahkan tidak relevan lagi. Mau atau tidak mau, individu harus menyesuaiakan diri. Proses penyesuaian ini tentunya melibatkan aspek psikologi manusia.

Proses penyesuaian ini tidak dapat terlepas dari fungsi ego pada diri manusia. Heinz Hartman, salah satu ahli psikologi aliran Freudian menempatkan ego manusia sebagai suatu aspek kepribadian yang aktif. Ego mempunyai kemampuan mandiri dan kemampuan untuk adaptif terhadap lingkungan. Ego berfungsi dalam memori, pembelajaran dan asosiasi. Gaya ego senantiasa dapat berubah sesuai dengan tujuan. Dengan demikian, adalah hal yang wajar ketika manusia harus selalu menyesuaiakan diri.
Ada tiga bentuk penyesuaian diri dengan lingkungan. Pertama adalah alloplastic change yaitu mengubah lingkungan sehingga lebih berterima dengan individu. Kedua adalah autoplastic change yaitu mengubah diri sehingga lebih sesuai dengan lingkungan. Ketiga adalah new environment, yaitu memilih lingkungan baru sehingga pertumbuhan ego akan lebih sehat. Perubahan-perubahan sosial dan budaya dapat membuat individu untuk melakukan perubahan-perubahan tersebut.
Mengapa ego individu melakukan penyesuaian? Terlepas dari fungsi ego yang adaptif, individu juga memiliki aspek psikologi lainnya yang dapat dijelaskan dengan teori lain. Dalam orientasi kognitif, peran kognisi menjadi sangat penting dalam melihat respon individu terhadap perubahan. Scheerer (Sarwono, 2011) mendefinisikan kognisi sebagai proses sentral yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar (ekternal) dan di dalam (internal) diri sendiri. Neisser (Sarwono, 200) mengemukakan kognisi adalah proses yang mengubah, mereduksi, memperinci, menyimpan, mengungkapkan dan memakai setiap masukan (input) yang datang dari alat indra.
Setiap individu memiliki struktur kognitif. Struktur kognitif merupakan serangkaian atribut yang terorganisir dan digunakan oleh individu untuk mengidentifikasi dan mendiskriminasi suatu objek atau peristiwa tertentu (Zajonc dalam Sarwono, 2014). Dengan demikian dalam struktur kognitif terdapat diferensiasi, kompleksitas, kesatuan dan organisasi. Dengan adanya struktur kognitif tersebut manusia dapat memilih rangsangan yang datang dari lingkungannya dan hal itu akan membuat individu memutuskan untuk berubah atau tidak berubah.
Salah satu teori yang menggunakan orientasi ini adalah teori dari Krech dan Crutchfiled (Sarwono, 2011). Teori ini menjelaskan bahwa pada individu seringkali muncul pertanyaan tentang kebutuhan dan tujuan pada suatu saat tertentu dan pertanyaan mengenai cara kebutuhan dan tujuan sampai bisa berkembang. Jawaban atas pertanyaan tersebut senantiasa mengarah pada motif yang kontemporer (bermasa-kini). Hal ini berkaitan dengan perubahan. Ketika perubahan terjadi, motif individu juga dapat ikut berubah. Individu dapat kembali mempertanyakan tujuan dan kebutuhannya, yang nantinya mendorongnya untuk tetap dan konsisten atau berubah.
Krech dan Crutchfiled (Sarwono, 2011) juga mengemukakan bahwa ketidakstabilan dalam lapangan psikologi menghasilkan ketegangan yang memengaruhi persepsi, kognisi, dan tindakan sedemikian rupa sehingga lapangan psikologi manusia mengarah kembali ke struktur stabil. Perubahan sosial dan budaya dapat menjadi suatu ketidastabilan yang membawa individu pada ketegangan (tension). Lebih lanjut dijelaskan bahwa frustasi terhadap pencapaian tujuan dan kegagalan untuk mengurangi ketegangan bisa membawa individu kepada perilaku-perilaku adaptif (penyesuaian diri dengan lingkungan) atau perilaku unadaptif (tidak bisa menyesuaiakan). Perubahan sosial dapat menimbulkan frustasi yang membuat individu menyesuikan diri atau tidak.
Pandangan lainnya dari teori lapangan (Field Theory) akan lebih memudahkan kita dalam memahami dinamika individu menghadapi perubahan. Berdasarkan teori ini, tingkah laku individu merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Proses interaksi tersebut bersifat dinamis. Dengan kata lain, perilaku individu itu berubah-ubah dari waktu ke waktu dalam situasi yang berbeda.
Individu sejak lahir menangkap lingkungan (pada awal kehidupan melalui perasaannya) melalui persepsi. Semakin bertambah usia dan pengalaman maka bertambah kompleks pula hal-hal yang dapat dipersepsi. Hasil persepsi ini diolah dan disarikan dalam makna-makna yang disimpan dalam bentuk kognisi (hasil pengolahan persepsi). Kognisi senantiasa diperbaharui sesuai masukan kognisi baru yang diintegrasikan oleh individu. Jadi semakin terbuka seseorang terhadap masukan baru dari lingkungan disertai kesediaan mengintegrasikannya dengan kondisi lama, maka akan semakin diperbaharui kognisinya (working memory). Perubahan-perubahan sosial dan budaya di sekitar individu dapat memperbaharui kognisinya. Perubahan itu senantiasa menjalankan mekanisme working memory individu.
Selanjutnya, kognisi ini berfungsi sebagai kerangka acuan atau Frame of Reference (FOR) bagi dirinya dalam mempersepsi lingkungannya. Jadi, ada hubungan timbal balik yang saling berpengaruh antara persepsi dengan FOR. Apabila kognisi seseorang senantiasa diperbaharui (melalui persepsi), maka berarti kerangka acuannya selalu baru dan hal ini dapat memudahkan individu berinteraksi dengan lingkungannya yang juga selalu berubah (bersifat dinamis). Satu poin penting yang dapat ditarik dari penjelasan ini adalah FOR manusia menuntunnya untuk berespon terhadap perubahan. Sebaliknya, perubahan yang terjadi juga dapat membuat FOR berubah karena individu berupaya untuk menyesuaikan diri. Fleksiblitas FOR menentukan tingkat penyesuaian diri individu.
FOR selalu berfungsi memberi acuan untuk mempersepsi. Dalam hal tersebut, FOR tentunya berkaitan dan berpengaruh pula kepada perangkat psikologik lainnya seperti kebutuhan, sikap, nilai-nilai yang dianut serta perasaan dan emosi. Perangkat psikologik akan memberi arah kepada motif dan bahkan kepada keputusan (judgement) terkait tingkah laku yang akan dihasilkan. Perubahan sosial dan budaya yang memengaruhi FOR individu akan ikut berpengaruh terhadap kebutuhan, sikap dan nilai, perasaan dan emosinya.
Secara teoritis, apabila terjadi kesenjangan antara ambang aspirasi dan kenyataan (realitas) diri individu, yang mana kesenjangan tersebut berada pada derajat yang sesuai (tidak terlalu lebar/ jauh dan tidak pula terlalu kecil/dekat ) maka akan menimbulkan tegangan (tension) yang pada akhirnya akan menghasilkan energi psikis yang merupakan bobot /gravitasi bagi motivasi (Atkinson & McClelland dalam Muh.Tamar,dkk.,______). Hal ini berarti perubahan-perubahan sosial dan budaya yang terjadi di sekitar individu akan dapat menghasilkan “kesenjangan” yang akan menimbulkan tension dan kemudian menghasilkan energi psikis. Dengan demikian, perubahan-perubahan sosial dan budaya memberikan pengaruh terhadap motivasi individu.
Tingkah laku yang muncul akan mendapatkan respon balik dari lingkungan. Pertemuan tingkah laku dan respons ini akan menghasilkan proses penyesuaian diri (adjustment). Hasil adjustment ini akan merupakan umpan balik kembali kepada persepsi. Setelah dipersepsi, diolah dan seterusnya akan menghasilkan kognisi baru yang telah diintegrasikan dengan masukan hasil olahan umpan balik, dan seterusnya. Perubahan-perubahan sosial dan budaya akan dapat berpengaruh pada persepsi individu dan pada gilirannya berpengaruh pada kognisinya secara keseluruhan.
Berikut ini adalah Contoh gambaran pengaruh perubahan sosial dan budaya terhadap aspek psikologis. Awalnya seorang A menyimpulkan bahwa smartphone akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangannya. A tersebut pun tidak mau membeli produk teknologi itu. Namun kemudian, A melihat bahwa pekerjaannya menuntut dia harus menggunakan internet setiap saat. Apalagi lingkungannya menunjukkan bahwa penggunaan smartphone tidak selamanya negatif. A pun memiliki kebutuhan terhadap smartphone. Meskipun A mengalami pergulatan nilai dan perasaan akhirnya dia mampu menyesuaikan diri dengan membeli smartphone.
Integritas diri: Suatu Kunci Bergelut dalam Perubahan Sosiokultural.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa perubahan-perubahan sosial dan budaya dapat menimbulkan ketidakstabilan pada individu. Individu tidak bisa melarikan diri dari kemungkinan perubahan yang ada mengingat kondisi sosial dan budaya di sekitar individu senantiasa berubah. Oleh sebab itu, inidvidu perlu membuat suatu upaya untuk tetap dapat berdiri dalam ketidastabilan dan atau ketidapastian. Ketika individu tidak memiliki suatu penyaring yang kuat dalam menghadapi dunia yang senantiasa berubah, maka individu dapat terombang-ambing dalam perubahan itu bahkan tidak mampu mengenali dirinya yang sebenarnya atau dirinya yang seutuhnya.
Salah satu upaya uang perlu dilakukan oleh individu adalah mencapai dan menanamkan integritas diri. Integritas diri merupakan suatu keadaan diri yang menunjukkan kesatuan yang utuh untuk melakukan apa yang dianggap benar. Integritas diri seseorang ditentukan oleh filosofi yang diyakininya menunjukkan ke”diri”an seseorang. Dengan demikian, seseorang yang memiliki integritas diri akan memahami dirinya sendiri dan tidak mudah untuk terbawa arus-arus perubahan.
Integritas diri diperoleh melalui usaha yang disengaja dan konsisten. Integritas diri dapat naik ataupun turun bergantung pada kondisi dan dapat diperbarui. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi integritas diri tersebut adalah faktor individu itu sendiri, faktor kebudyaan dan faktor kepemimpinan. Perubahan sosial dan budaya bisa saja menggoyhkan integritas diri yang turun. Manusia seyogyanya bisa menjaga integritas diri agar tidak turun. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah menjadi diri sendiri, menjaga respek diri, berpikiran positif, menepati janji, komitmen dan bertanggung jawab, konsisten dan bersikap jujur dan sopan.
Perlu untuk menanamkan integritas diri sejak kecil. Oleh sebab itu, salah satu bentuk sosialiasi dan enkulturasi yang seyogyanya dilakukan orang tua adalah menanamkan karakter ini sejak kecil kepada anak-anaknya. Orang tua seyogyanya bisa menjadi model bagi anak-anaknya dalam menanamkan karakter integritas diri ini.

Kesimpulan
Perubahan sosial dan budaya merupakan perubahan yang niscaya terjadi. Perubahan sosial dan budaya dapat diartikan sebagai perbedaan keadaan yang berarti dalam unsur masyarakat dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Perubahan sosial dan budaya adalah proses perkembangan unsur sosial dan budaya dari waktu ke waktu yang mengakibatkan perbedaan yang berarti dalam suatu individu dalam masyarakat.
Sebagai suatu sistem yang berpengaruh pada perkembangan individu, kondisi sosial dan budaya yang senantiasa berubah tentunnya akan memengaruhi perkembangan individu juga dari berbagai aspek, di antaranya adalah aspek psikologis. Perubahan sosial dan budaya ini memengaruhi aspek-aspek psikologis individu. Beberapa pengaruhnya adalah dapat menimbulkan ketidakstabilan dan tension (tegangan) yang kemudian dapat membuat individu frustasi sehingga membutuhkan penyesuaian diri. Perubahan sosial dan budaya dapat memengaruhi kognisi individu. Pengaruhnya terhadap kognisi ini dilihat dari pengaruhnya terhadap FOR dan persepsi individu yang kemudian berimplikasi pada tingkah lakunya. Perubahan sosial dan budaya memengaruhi perangkat psikologis lainnya seperti nilai, sikap, kebutuhan , emosi dan perasaan, yang mengarahkan motif inidvidu. Perubahan sosial dan budaya dapat mengubah motivasi individu.
Perubahan sosial dan budaya yang niscaya terjadi membuat individu perlu memiliki suatu upaya untuk bisa menghadapi ketidakstabilan dan ketidakpastian. Termasuk juga menghadapi perbedaan-perbedaan dari adanya perubahan sosial dan budaya itu. Upaya yang perlu dicapai individu adalah memperkuat integritas diri yang merupakan keadaan diri yang menunjukkan kesatuan yang utuh untuk melakukan apa yang dianggap benar. Hal yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan integritas diri adalah menjadi diri sendiri, menjaga respek diri, berpikiran positif, menepati janji, komitmen dan bertanggung jawab, konsisten dan bersikap jujur dan sopan. Dengan integritas diri seseorang mampu beridiri dalam dunia yang senantiasa berubah, dalam hal ini perubahan sosial dan budaya, sehingga tidak mudah terbawa arus-arus perubahan.

Referefnsi
Santrock, John W. (2002). Life-Span Development Jilid 1. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, W.S. (2013). Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press
Sarwono, W.S. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Spering, M. (2001). Current issues in cross-cultural psychology: Research topics, applications, and perspectives. Germany: Institute of Psychology, University of Heidelberg.
Tamar, M., Ibnu, I.F., & Saleh, U.. (t.t). Membangun Motivasi dalam Diri, Modul MD-04, TOT Basic Character and Study Skills. Universitas Hasanuddin. Tidak diterbitkan.
Zuhaib, A. (2011). Social and Cultural Change [internet]. Retrieved on November 2, 2014, from: http://www.cssforum.com.pk/css-optional-subjects/group-b/sociology/51103-breif-introduction-social-cultural-change.html

Published by Syura Muhiddin

I study Psychology. You are able to call me Syura or Wasti. I am the third daughter of my Father (Muhiddin) and my Mother (Marwah). I am a Muslim women. My tribe is Bugis from South Sulawesi Province. Absolutely, I am an Indonesian.

Leave a comment