Garis Paralel

Seperti baru saja Let’s End-Start the Year seri 2 dipublikasikan, serial ke 3 sudah dipublikasikan lagi. Aku seperti terbang  cepat dari Januari ke Desember 2022. Hari-hari yang telah dilalui, apakah aku dan kita semua menyesalinya atau mensyukurinya? Aku pikir kita semua bisa memilih dua-duanya, tidak salah satunya. Itu bagian dari pilihan. Bahkan, tak memilih adalah bentuk pilihan juga

Tahun 2022 adalah tahun sibuk, pencapaian beberapa #mylifeproject pada beberapa bidang kehidupan, dan tentu saja tahun penuh krisis. Aku hanya ingin menuliskan refleksi dari orang lain yang banyak mengajarkanku tentang frasa ataupun kata yang sangat memiliki makna beragam, yang dikenal sebagai sumber kebahagiaan dan sumber derita umat manusia. Aku belajar dari mereka tentang “Cinta, ketulusan, pengharapan, rasa takut dan pengorbanan”.

Saya ingin mencapaimu. Saya berjuang setiap hari berjalan bersamamu. Mengapa dirimu tidak dapat melihatnya hingga akhir?

Empat pergantian tahun yang dilalui dengan pasang surut rasa dan pergolakan batin.  Air mata yang tak terhitung. Lebih banyak, dibandingkan tawa yang dibagikan. Tuhan telah menunjukkan jalan akhirnya.” 

Waktu telah berlalu. Keyakinan yang saya jaga selama itu. Saya tahu semua itu akan hancur

Kita berjalan berdampingan di sepanjang jalan yang berbeda. Saling sejajar satu sama lain. Namun jalan itu tak pernah bersinggungan. Seperti garis paralel. Pada akhirnya, tak pernah bertemu hingga akhir jalan.

Kita yang memiliki empati, memahami bahwa itu adalah peristiwa yang menyakitkan. Darinya, aku menemukan pelajaran hidup agar aku bisa melangkah. Aku akan mengirimkannya pada semua yang pernah atau sedang merasakannya. 

Rasa cinta selalui disertai dengan pengharapan dan rasa takut. Pengharapan bahwa segala sesuatu akan berjalan dengan baik sebagaimana yang dinginkan. Rasa takut bahwa sewaktu-waktu cinta yang dibangun dapat runtuh begitu saja. Keduanya perlu diseimbangkan. Rasa takut yang berlebihan akan membawa pada sikap posesif. Harapan yang berlebihan akan membawa pada ketidakmawasan dan keterlenaan bahkan juga pembiaran. Keseimbangan keduanya juga bisa mengurangi kekecewaan yang dapat dirasakan.

Aku belajar bahwa mereka yang paling kita cintai memiliki potensi paling besar untuk menyakiti kita pula. Rasa kecewa, kemarahan, kesedihan, semua berpotensi muncul karena orang yang kita cintai. Kita akan diuji dengan mereka. Ujian mengelola perasaan sakit, ujian keikhlasan dan kesabaran serta ujian menjauhi dosa dari kesenangan sesaat. 

Tentang modus ekspresi, akan ada dua kata yang pasti akan selalu kita sampaikan pada mereka yang kita cintai. Selalu tersisip permohonan maaf dan ucapan terima kasih. Permohonan maaf karena kita tanpa sengaja menyakitinya. Maaf karena kita tak bisa melakukan seperti yang mereka harapkan. Bahkan, maaf karena kita telah mencintainya tanpa mereka inginkan. Lalu terima kasih karena mereka memahami kita. Terima kasih karena mereka selalu ada, di saat-saat sulit dan senang. Terima kasih karena mereka telah menerima cinta kita. Terima kasih karena ketulusannya. Kedua kata akan selalu ada untuk orang yang kita sayangi. 

Bukan mencintai jika itu tidak diikuti dengan pengorbanan yang tulus. Pada akhirnya cinta tidak boleh egois. Dia tak harus berwujud ucapan dan ikatan yang saling memiliki. Ada sebuah cinta dalam diam pula, yang menuntut pengorbanan untuk melepaskan apabila dia tak sampai pada akhirnya. Merelakan adalah bentuk cinta itu. Mendoakan secara tulus untuk kebaikan mereka dan pertumbuhan mereka adalah bentuk cinta yang tertinggi.

Pada akhirnya, tak ada yang dapat menghalangi cara Tuhan bekerja. Maka kembalilah kepadanya sesegera mungkin ketika merasa bahwa cinta telah menyakiti kita. Mungkin saja Dia cemburu karena perhatian kita tertuju hanya kepada mereka yang kita cintai, hingga lupa kepada-Nya, yang menganugrahkan cinta itu. Kita juga terlalu sombong untuk mengakui bahwa sekuat apapun manusia berusaha, jika Tuhan tak mengizinkan, itu tak akan terjadi.  Kembalilah dan sandarkan cinta pada-Nya. Dia tidak akan mengecewakan.  

Berwelas asih pada diri akan meningkatkan kepercayaan diri untuk terus berjalan maju. Juga akan membantu untuk tak menyalahkan diri sendiri atas berbagai hal yang tak diinginkan. Lalu, beberapa berjalan dengan membawa cinta itu, beberapa lainnya meninggalkannya di belakang, tak melihatnya lagi.  Mereka yang berjalan dengan membawa cinta itu, mungkin masih menghargainya. Namun pada akhirnya, semua nalar akan bekerja. 

Aku belajar banyak. Aku juga bertahan sekuat tenaga untuk sesuatu yang bisa aku tinggalkan jika aku egois, jika aku tak berpikir dan menemukan suatu makna agar aku tetap berada disana. Aku belajar bahwa pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan negatif tak boleh mendikte kita. Kita perlu mengelolanya, menemukan cara untuk meresponnya dengan tepat  sehingga tidak menghancurkan diri perlahan-lahan. 

Harapan baru selalu disematkan di awal tahun. Pun demikian diriku. Sudah saatnya aku keluar dari pengharapan dan penantian yang tak pernah menyentuh titik temu, seperti garis paralel itu. Sudah saatnya aku menentukan arah baru, mengumpulkan kembali puzzle yang terpisah-pisah karena air mata yang tertumpah sekitar 3 tahun terakhir, tertumpah sia-sia dari sisi saat ini aku melihatnya. Aku akan undur diri dari pergolakan yang hanya menghancurkan satu pihak saja. Mungkin ini alasan mengapa Tuhan segera menunjukkan jalan akhirnya, agar aku tersadar segera, agar aku tak menghancurkan diri, dan agar aku segera mengatur perjalanan baru. Maaf dan terima kasih, untuk mereka yang saya cintai. Aku akan melakukan yang terbaik di masa yang akan datang, jika Tuhan beri umur panjang. Aku akan memilih lebih banyak kebahagiaan.

Tamat. 

Aku menutup buku itu di awal tahun 2023. Garis Paralel. Maaf dan terima kasih untuk hari-hari yang lalu di tahun 2022.

Published by Syura Muhiddin

I study Psychology. You are able to call me Syura or Wasti. I am the third daughter of my Father (Muhiddin) and my Mother (Marwah). I am a Muslim women. My tribe is Bugis from South Sulawesi Province. Absolutely, I am an Indonesian.