Perjalanan#2: Tempat Berlindung

Refleksi pencari lorong masa kecil masih berlanjut. Suatu hari, saat kami melanjutkan pencarian lorong di wilayah selatan, yang didominasi oleh sawah dan lahan-lahan kebun serta bekas kebun, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Rumah kami masih jauh. Kami akan basah jika kami nekat menerobos hujan dan kemungkinan kami bisa sakit. Akhirnya, si B, anak lelaki yang dianggap paling pemberani di antara kami, mengusulkan supaya kami mencari tempat berteduh.

Sejauh mata memandang, kami bisa melihat beberapa pohon yang bisa ditempati berteduh namun kurang rimbun untuk menahan guyuran air hujan. Sia-sia saja kata si C, anak perempuan yang dianggap paling cerewet di antara kami. Kami juga melihat sebuah rumah sawah dan rumah kebun. Awalnya, kami menghampiri rumah kebun karena jaraknya yang sudah dekat. Namun, si B yang berjalan duluan tiba-tiba menghentikan langkah kami.

Dari jauh, rumah-rumahan itu kelihatan baik dan layak. Namun, setelah dilihat lebih dekat, ternyata kayunya lapuk dan atapnya ada yang bocor. Si C mengusulkan agar kami berteduh saja di situ, mungkin saja hujannya akan segera reda. Aku (si A), Si B dan Si D merasa ragu. Si D yang dikenal tidak banyak bicara di tim kami mengusulkan untuk berteduh di rumah sawah yang jaraknya masih setengah kilo, namun kelihatan menjanjikan. Kami bertiga, kecuali si D saling berpandangan. Si C bertanya, “bagaimana jika rumah itu sama saja? Kelihatannya saja bagus dari jauh seperti yang ini.” Si D menjawab, “tak ada salahnya mengecek. Lagi pula sudah lama kita tidak hujan-hujanan. Sebentar saja.”. Si D mengayuh sepeda dengan semangat memandu kami.

Kali ini, pilihan D sangat tepat. Rumah-rumahan di dekat sawah itu sangat layak sebagai tempat berteduh. Syukurlah kami tiba di sana sesaat sebelum hujan turun dengan sangat deras. Kami menunggu hujan reda selama sekitar 10 menit sambil bercerita dan menikmati bekal yang masih tersisa di tas kami.

Memilih tempat berlindung kadang tak semudah yang dibayangkan, melibatkan banyak pertimbangan. Seperti cerita kami, ada tempat yang mudah diperoleh, namun tempatnya kurang layak. Ada yang sulit diperoleh dan penuh perjuangan, tapi justru tempat itulah yang paling nyaman. Ini tergantung daya juang. Jika kami menyerah duluan, maka rumah yang kurang layak itulah yang kami akan tempati untuk berlindung dari hujan, yang tetap membuat kami kebasahan. Bukan tempat berlindung jika itu membuat kita tetap tak merasa terlindungi, tak merasa aman.

Kita juga punya rumah masing-masing sebagai tempat berlindung. Seperti yang kita ketahui, itu adalah kebutuhan dasar manusia, selain pangan dan sandang. Lalu, seperti apa rumah kita? Apakah rumah tempat berlindung kita ini sudah kokoh? Apakah pondasinya kuat? Apakah kelihatannya indah dan cantik? Bagaimana pula kita membangun rumah kita? Apakah kita berusaha dengan keras membangunnya? Bagaimana kita mengisi dan menghidupkan rumah kita?

Kita seyogyanya senantiasa mengingat bahwa rumah yang kita tempati saat ini adalah tempat berlindung sementara selama perjalanan kita untuk kembali. Namun, di situlah kita akan melakukan hal yang sangat penting, mengumpulkan bekal-bekal kebaikan kita. Di situlah kita membangun keluarga, mendidik generasi penerus, dan melakukan hal-hal lainnya dalam rangka menjalankan tugas manusia di bumi. Di situlah kita selalu kembali untuk sementara, beristirahat setelah berjuang di ladang-ladang kehidupan.

Ada rumah-rumah yang cantik di pandang mata namun ternyata di dalamnya tidak secantik kelihatannya. Di dalamnya rapuh dan berantakan. Di dalamnya penuh kesedihan ataupun penuh dengan perselisihan-perselisihan. Alih-alih membuat nyaman dan betah, rumah itu justru membuat penghuninya meninggalkannya karena rumah itu memberikan suasana yang depresif. Rumah itu tak bisa melindungi penghuninya. Bukankah rumah yang baik itu bukan hanya cantik nan indah kelihatannya, melainkan juga kokoh dan membuat penghuninya nyaman dan aman?

Membuat rumah yang kokoh dan menyenangkan memerlukan usaha-usaha. Sebagai penghuni rumah yang menciptakan tempat perlindungan, kita seyogyanya aktif dalam “menghidupkan” rumah kita. Memberikan warna-warni, menciptakan kesejukan, serta membangun kedamaian dan ketenangan. Kadang itu tak mudah. Kita harus bersusah payah untuk melakukannya. Tak jarang kita merasa jatuh-bangun, terkuras emosi dan pikirannya.

Kita kadang diajar untuk bersabar dan ikhlas dengan upaya-upaya itu. Kita diajarkan untuk bisa pandai mensyukuri nikmat. Diajar untuk menghargai orang lain. Diajar untuk saling mengasihi. Pada akhirnya pengorbanan-pengorbanan yang kita lakukan itu akan memberikan kejutan yang manis.

Bagiku, rumah yang indah luar dan dalam itu adalah rumah yang disinari oleh cahaya. Rumah yang memiliki pondasi seperti akar yang kokoh menopang pohon yang besar. Rumah yang seperti terikat pada tali yang kuat. Bukan rumah seperti rumah laba-laba, rumah yang sangat rapuh. Rumah itu tak mudah roboh, bahkan oleh terpaan badai berkali-kali ataupun gempa bumi sekalipun. Bahkan, meskipun rumah itu retak, cahayanya tetap tampak, membuat orang yang melihatnya terkagum.

Bagaimana membangun rumah, tempat berlindung seperti itu? Bagiku, menghidupkan spiritualitas di dalamnya adalah kunci utama. Menghadirkan Tuhan dalam setiap usaha kita menghidupkannya. Semua upaya dilakukan atas nama-Nya. Rumah itu  dibangun di atas pondasi iman yang kuat. Rumah itu akan memberikan kesejukan dan kedamaian dan tentu indah dipandang.

Selamat membangun tempat berlindung.

Published by Syura Muhiddin

I study Psychology. You are able to call me Syura or Wasti. I am the third daughter of my Father (Muhiddin) and my Mother (Marwah). I am a Muslim women. My tribe is Bugis from South Sulawesi Province. Absolutely, I am an Indonesian.

Leave a comment