Perjalanan#3: Menjalani Ujian-Ujian

Sebelumnya, aku tidak pernah berencana bergabung bersama teman-temanku, membentuk grup pencari lorong di desa. Tidak, setelah aku bisa mengendarai sepeda. Di antara teman-temanku, akulah yang paling belakangan pandai mengendarai sepeda, yaitu ketika aku duduk di kelas empat SD.

Ayah mengajariku naik sepeda menggunakan sepeda milik tetangga sekaligus teman kecilku yang ukurannya relatif kecil untuk anak seusiaku waktu itu. Pada awalnya, ayah masih memegangiku untuk meminimalisir jatuhku dalam proses menjaga keseimbangan saat mengayuh sepeda. Ayah lalu menantangku untuk bisa mempertahankan keseimbanganku sendiri. Awalnya aku takut. Dengan dorongan ayah, aku memberanikan diri dan akhirnya aku berhasil melewati tantangan pertama. Aku sudah bisa mengendarai sepeda dengan baik.

Ayah lalu memberikan tantangan selanjutnya. Setelah sebelumnya saya hanya bersepeda di lapangan hijau luas yang bebas halangan, ayah meminta saya bersepeda di jalan setapak desa. Jalan setapak desa di sekitar tempat tinggalku dulu masih merupakan gabungan tanah dan kerikil. Lalu pada musim hujan sangat becek. Meskipun tidak selalu ramai, namun jalan setapak itu pasti dilalui oleh mobil dan terutama motor dalam setiap harinya. Jadi jalan itu tentu saja tidak bebas halangan lagi seperti di lapangan.

Aku berhasil menjalankan tantangan itu. Hingga pada akhirnya, aku menjadi penjelajah lorong-lorong desa bersama teman. Selama belajar bersepeda, bahkan ketika saya sudah pandai, saya tentu saja pernah terjatuh. Ibu pernah berkata bahwa jatuh dalam belajar itu adalah bagian dari pembelajaran. Juga jatuh ketika kamu sudah pandai, itu adalah bagian pembelajaran sekaligus pengingat tentang kemungkinan kekurangan kita.

Begitulah aku berhasil menyelesaikan tantangan-tantangan dalam belajar bersepeda. Nah, tantangan itu seperti ujian-ujian yang perlu kita lalui. Tantangan selanjutnya adalah ketika kami menjalankan misi sebagai pencari lorong.

Dalam satu kali kesempatan, kami hendak mengunjungi suatu lokasi yang cukup berbukit. Lokasi ini pada dasarnya adalah pinggiran sawah dan rawa tempat dimana beberapa pohon lontar bertumbuh. Bagi kami, pemandangan di tempat itu begitu indah dan menarik. Saat kami bersepeda menuju lokasi itu, kami pun menyadari bahwa pada kenyataannya jarak menuju ke sana tidaklah sedekat yang dipandang mata. Juga, akses jalanan kesana bukanlah lorong biasa seperti yang biasa kami jelajah.

Untuk bisa sampai ke lokasi tersebut, kami melewati jalanan berkerikil seperti biasanya di area perkampungan. Kami keluar dari area tersebut menuju sebuah jalanan berbecek yang digunakan oleh petani menuju sawah mereka. Sekitar 100 meter, kami merasa ragu untuk melanjutkan perjalanan. Si B sang pemberani menyemangati kami. “Ini adalah tantangan kita sebagai penjelajah. Kita harus melaluinya. Semangat kawan-kawan.” Katanya antusias diikuti teriakan si D. Kami pun bertekad melalui tantangan ini menuju tempat yang kami tuju. Tentu saja ada perasaan khawatir dan takut menyelinap dalam pikiranku. Mungkin juga teman-temanku.

Setelah berhasil melewati jalan berbecek sepanjang sekitar 300 meter, kami kemudian harus melewati pematang sawah. Inilah tantangan kami selanjutnya. Kali ini cukup berisiko. Lebar pematang sawah itu tidak lebih dari 200 cm dan beberapa bagiannya juga becek. Jika kami jatuh, bukan hanya tubuh kami yang bisa terluka, tapi padi-padi para petani yang hijau juga bisa rusak. Akibat kedua ini tentu lebih mengkhawatirkan kami.

Dengan tekad yang semakin diperkuat kami pun melalui jalan sempit itu secara perlahan-lahan. Dengan cermat kami menyusurinya. Aku dan si C, teman perempuanku, kadang turun dari sepeda dan memilih berjalan memeganginya daripada mengendarainya. Kami bernapas lega saat berhasil melalui pematang demi pematang.

Lalu, tibalah kami pada jembatan kayu kecil yang menghubungkan sawah dan tanah berbukit yang berumput. Karena jembatan setinggi 1 meter dari permukaan air itu tidak begitu luas dan beberapa kayunya mulai lapuk, tidak ada yang berani mengendarai sepeda untuk melewatinya. Kami semua turun dan memegangi sepeda kami menyeberang jembatan. Kami juga menghindari risiko terjatuh di air mengalir yang tidak kami tahu kedalamannya. Apalagi aku dan si C tak pandai berenang. Untung saja jembatan itu tidak terlalu panjang sehingga kami tidak perlu terlalu lama merasa deg-degan.

Dan…pada kahirnya kami tiba di lokasi yang kami inginkan selama ini. Nyatanya tempat ini lebih indah dari yang terlihat dari area perkampungan. Kami menyebutnya bukit teletubbies desa (film kartun faforit kami saat masih TK). Dari sana kami bisa melihat hambaran sawah yang hijau dan wilayah perkampungan kami. Kami bisa melihat kubah masjid dekat rumahku dan atap sekolah kami. Wah, perjuangan kami untuk sampai kesini pun terbayar. Kami mengeluarkan bekal kami dan menikmatinya.

Saat ini, ketika aku bernostalgia, mengingat kembali usahaku berlajar bersepeda hingga perjalananku bersama teman-teman pencari lorong, aku memahami bahwa sebagai orang dewasa yang hidup di dunia ini, ujian-ujian akan selalu ada. Apalagi sebagai orang yang beriman. Ujian adalah bagian dari keimanan itu sendiri.

Ujian-ujian yang kita dapatkan, ada yang memandangnya sebagai tantangan dan ada pula yang memandangnya sebagai masalah. Jika kita berpikir positif, tentu tantangan itu akan dipandang sebagai tantangan-tantangan hidup yang akan mendewasakan kita ketimbang masalah yang menghancurkan kita. Ingat, persepsi itu bisa memengaruhi sikap dan tindakan kita.

Terlepas dari cara pandang itu, ujian-ujian itu perlu untuk dilalui dan atau diselesaikan. Mengapa kita perlu menyelesaikannya?

Agar kita bisa naik tingkat ke level yang lebih tinggi. Kita tentu tidak ingin berada pada level yang sama sepanjang kita hidup. Lama-lama kita akan merasa jenuh dan tidak ada sesuatu yang berarti yang akan mendewasakan kita. Kita akan berada dalam zona nyaman seterusnya. Zona nyaman itu bisa melenakan sehingga berbahaya untuk pertumbuhan diri kita.

Kita akan senantiasa diuji dengan sesuatu yang sama ataupun di level yang sama hingga kita berhasil melaluinya. Jadi, mungkin dari kita ada yang merasa selalu mendapatkan ujian yang sama, model tantangan yang sama. Mari kita merenungkan bahwa barangkali kita belum bisa melulusi ujian tahap itu. Ketika kita berhasil maka kita bisa naik level. Aku menyadari bahwa semakin tinggi tingkatan kita, semakin menantang  ujian yang diperoleh. Namun, kita perlu meyakini bahwa ujian itu juga disesuikan dengan kemampuan yang kita miliki untuk mengatasinya.

Ujian juga akan melihat dan menyeleksi orang-orang yang memang konsisten. Kita mungkin menilai diri kita sebagai seorang yang konsisten. “Aku mengapresiasi jalan ini dan pasti akan bertahan di jalan ini”. Begitu kata kita. Tapi kebenaran perkataan kita hanya bisa dibuktikan dengan ujian-ujian yang dilalui. Apakah kita tetap bertahan dan terus maju meskipun berbagai tantangan menghadang atau kita memilih untuk mundur.

Ujian adalah sarana untuk memperoleh pelajaran dan hikmah dalam kehidupan kita. Berkaitan dengan hal ini, kita perlu untuk memiliki kemampuan berpikir reflektif dan menemukan insight. Dengan hal itu, kita bisa menemukan makna-makna dari kejadian yang menimpa kita. Hal ini adalah kunci agar kita bisa senantiasa menjalani kehidupan yang penuh tantangan ini. Kunci agar kita bisa melalui ujian ini dengan sabar. Every cloud has a silver lining. Setiap situasi sulit atau buruk memiliki sisi positif atau pada akhirnya mengarah pada sesuatu yang baik. Sesuatu yang baik itu yang perlu kita temukan dan kadang baru diketahui kemudian setelah ujian itu kita lalui. Pada satu titik, kita mungkin menemukan bahwa peristiwa buruk yang menimpa kita dulu sebetulnya telah menghindarkan kita dari peristiwa lain yang jauh lebih buruk.

Ujian-ujian yang kita lalui dalam hidup ini akan mengembangkan kepribadian kita untuk menjadi seseorang yang lebih tangguh, mandiri dan tentu saja sabar. Karakter-karakter tersebut akan menjadi faktor yang sangat bermanfaat untuk bisa menjalani tantangan hidup yang semakin kompleks ini. Ada istilah resiliensi yang berarti kemampuan untuk bertahan mengahadapi masa-masa sulit dalam hidup. Jika diumpamakan, resiliensi seperti pegas atau karet yang lentur, yang meskipun dibenturkan, tak akan patah, bahkan dapat kembali ke bentuk semula. Ujian-ujian yang kita hadapi akan dapat membina karakter resiliensi tersebut.

Satu hal yang perlu senantiasa kita ingat. Di tengah-tengah ujian tersebut, ada kemudahan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak boleh berputus asa terhadap pertolongan Tuhan. Pada titik tersulit pun, kemudahan itu akan didatangkan, bahkan dari arah yang tak disangka-sangka selama kita ikhlas menjalaninya.  Kesulitan-kesulitan akan senantiasa dibarengi dengan kemudahan. Jadi, tak ada banyak alasan untuk menyerah begitu saja.

Published by Syura Muhiddin

I study Psychology. You are able to call me Syura or Wasti. I am the third daughter of my Father (Muhiddin) and my Mother (Marwah). I am a Muslim women. My tribe is Bugis from South Sulawesi Province. Absolutely, I am an Indonesian.

Leave a comment